Semarang, UP Radio – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang melansir data berdasarkan Konseling dan Tes HIV (KTHIV), menyatakan, jika angka kumulatif kasus penularan HIV berasal dari Lelaki Seks Lelaki (LSL) terus mengalami peningkatan di Kota Atlas ini.
Bahkan, peningkatan penularan dari LSL tertinggi dibandingkan kelompok resiko penularan lainnya. Adapun jumlah kelompok resiko penularan HIV dibagi ke dalam delapan kategori. Meliputi seks pasangan berisiko tinggi (Risti), LSL, Waria, Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita Pekerja Seks (WPS), Pria Pekerja Seks (PPS), pelanggan pekerja seks, dan kategori lain-lain.
”Dulu di awal tahun 2000-an, penderita HIV kebanyakan berasal dari hetroseksual dan pekerja seks. Memasuki 2011, ditemukan kelompok resiko penularan baru yang berasal dari lelaki yang suka berhubungan seks sesama lelaki. Jumlahnya terus mengalami peningkatan hingga sekarang. Bahkan, lebih dari 70 persen temuan baru tersebut terjadi dalam tiga tahun terakhir,” ungkap Kepala Dinkes Kota Semarang, Widoyono, saat ditemui di kantornya.
Adapun data kelompok resiko LSL tersebut yakni pada 2015 terdapat 60 penderita HIV, naik menjadi 112 penderita pada 2016, dan menjadi 147 pada 2017. Jumlah ini sempat mengalami sedikit penurunan pada 2018 yakni sebanyak 136 penderita HIV.
”Sementara hingga saat ini di 2019, kelompok resiko LSL jumlahnya telah mencapai 34 penderita HIV. Selanjutnya, kelompok resiko penularan HIV tertinggi kedua adalah Risti yang mencapai 63 penderita pada 2018 dan 11 penderita pada 2019. Diikuti pelanggan pekerja seks sebanyak 34 penderita pada 2018 dan 10 penderita pada 2019,” ujar dia.
Adapun berdasarkan kelompok umur, Widoyono menyebut jika angka kumulatif kasus AIDS di Kota Semarang dalam rentang waktu 2007 hingga 2018 didominasi kelompok umur 31-40 tahun, mencapai 33 persen dengan 178 penderita AIDS. Diikuti kelompok umur 21-30 tahun sejumlah 29 persen dengan 152 penderita AIDS. Sementara kelompok umur 41-50 tahun sebesar 20 persen dengan 107 penderita AIDS.
”Untuk kelompok profesi terbanyak didominasi karyawan, ibu rumah tangga, dan tidak diketahui. Profesi tidak diketahui ini terjadi karena penderita saat didata enggan atau tidak mau menyebutkan profesinya,” terang dia. (ksm)