Ada pendatang baru yang mendiami sepetak rumah kontrakan di serong rumahku. Entah dapat uang dari mana ia bisa membayar uang kontrakan itu, sebab seminggu ini kulihat kerjaannya hanya melamun di depan rumah.
Kira-kira seminggu yang lalu, lelaki itu hadir di kampungku dan mulai menjadi buah bibir. Dilihat dari perawakannya yang tinggi dan tegap, sebenarnya ia tampak belum terlalu tua. Hanya saja tubuhnya yang tidak terawat dengan kumis lebat dan rambut gondrong yang berantakan membuatnya terlihat amat kuyu.
Orang-orang menyebutnya gila dan was-was jika nantinya ia berulah. Akan tetapi, Pak Arif, Pak RT sekaligus si pemilik kontrakan tidak menghiraukan anjuran orang-orang untuk mengusirnya lantaran lelaki itu sudah membayar uang di muka. Dari Pak Arif pula orang-orang akhirnya tahu siapa nama lelaki itu. Alain. Nama yang terlalu bagus, mereka bilang.
Hingga pada suatu fajar, yang ditakutkan orang-orang nampaknya terjadi. Dari tempatku menyediakan makanan untuk burung beo, Alain terlihat berdiri dan kencing di depan rumah kontrakannya. Hanya sebentar. Kemudian ia beranjak, beralih mengencingi pohon pepaya di ujung gang.
***
Sore itu aku sedang menyediakan sepotong pisang untuk burung beoku ketika orang-orang ramai membicarakan bau kencing yang sudah dua hari ini menyeruak di ujung gang. Tidak salah lagi. Aku tahu siapa tersangkanya.
“Ini pasti ulah si Alain!” Seseorang langsung menunjuk rumah kontrakan Alain.
“Tapi kita tidak bisa asal menuduhnya tanpa bukti. Pak RT pasti nggak percaya.”
Aku sebenarnya bisa saja menjadi saksi mata ulah Alain yang kencing di ujung gang, hanya saja aku adalah orang yang tidak suka ribet. Pasti lah ketika menjadi saksi harus bersedia diwawancarai, menghadap ke Pak RT, dan keesokannya akan terus diminta untuk memata-matai. Maka aku memilih untuk diam saja. Biarlah Alain terus kencing. Asal tidak sampai kencing di depan rumahku.
***
Kudengar warga mulai menyusun rencana untuk memergoki Alain ketika kencing. Saat malam hari bapak-bapak akan bertugas ronda dan sekalian mengamati kemunculan Alain. Sementara para ibu diminta untuk berjaga selepas Subuh.
Benar saja. Saat malam tiba, mendadak pos ronda berpindah di samping rumahku. Dan aku tetap teguh pada pendirianku untuk tidak ikut campur. Malahan aku jadi semakin rapat menyimpan kesaksian. Supaya mereka terus berjaga. Karena dengan begini peraturan giliran ronda di kampungku jadi kembali berlaku.
Keesokan paginya mereka masih saja ribut. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari semalaman berjaga. Dan yang membuat orang-orang makin kesal, bau kencing itu kini telah merambah ke tanaman-tanaman di depan rumah salah seorang dari mereka. Barangkali rencana mereka diam-diam telah sampai ke telinga Alain. Brangkali Alain adalah orang yang cerdik. Ia tahu celah di mana orang-orang lengah.
“Kencing. Kencing.”
Tiba-tiba burung beoku menyambar. Membuat semua perhatian beralih kepadanya. Mereka pasti curiga bahwa burung beoku mengetahui sesuatu.
“Burung beo pintar, tahu siapa yang suka kencing sembarangan?” tanya salah seorang. Yang lainnya menanti dengan raut meneliti.
Burung beoku tidak menjawab. Ia malah berpindah-pindah tempat untuk bertengger.
“Coba, gih, kamu yang tanya! Pasti mau jawab kalo sama yang punya.”
Aku geleng-geleng kepala. Rasanya ingin menjelaskan kepada mereka bahwa burung beo tidak bisa menjelaskan apa yang ia lihat. Burung beo hanya bisa berujar mengenai apa yang sering ia dengar. Tapi aku mengalah saja. Menuruti perintah mereka akan lebih tidak menghabiskan tenaga.
“Beo, siapa yang suka kencing sembarangan?”
“Saya kencing. Saya kencing.”
Seketika ekspresi orang-orang berubah menjadi ekspresi gemas. Bukan gemas yang menganggap burung beoku lucu. Melainkan gemas yang seperti hendak mencekiknya sampai mati.
***
Begitu aku keluar dari rumah, bau kencing langsung menyentuh ujung hidungku. Baunya berasal dari dua tanaman di depan rumah. Tidak begitu menyengat tapi cukup membuatku geram. Karena bukan tidak mungkin bau kencing ini akan kembali menyambutku esok pagi.
Sementara itu, beberapa meter dari tempatku mengumpat, Alain terlihat duduk di depan kontrakannya. Dengan gaya andalannya, mengisap rokok dan menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong. Ah, aku pikir itu bukan tatapan kosong. Di dalam otaknya pasti berkelebatan akal muslihat untuk meresahkan orang-orang.
Sudah bulat keputusanku. Aku harus menyaksikan ia kencing sekali lagi. Kali ini tidak ada ampun. Aku akan memotretnya kemudian kucetak dengan ukuran foto 10R. Biar tahu rasa!
Maka malam harinya, tidak ada pilihan lain selain mengajukan diri untuk ikut ronda. Aku sudah menyiapkan segala amunisi. Dua gelas kopi supaya tidak tertidur, ponsel dengan baterai penuh untukku membunuh waktu dengan bermain game, hingga kamera SLR hasil pinjam teman supaya jepretanku tidak terganggu pencahayaan yang buruk.
Satu jam, dua jam, satu orang, dua orang, perlahan sepi menjadi satu-satunya teman. Ponselku baru saja mati. Baterainya habis lantaran aku terus bermain game ditambah lagi memutar musik. Dan seseorang yang tersisa bersamaku, sudah dibawa mimpi entah sampai mana. Jadi begini ini yang dilakukan ketika jaga ronda? Pantas saja Alain selalu lolos dari tangkapan mata mereka.
Aku tidak boleh mengulang kesalahan mereka. Aku harus terus terjaga jika tidak ingin tanaman-tanaman di depan rumahku berubah fungsi menjadi toilet. Maka, upaya membunuh waktu yang selanjutnya adalah dengan memain-mainkan kamera SLR. Dulu aku sangat gemar memotret sebelum akhirnya kameraku kujual untuk membeli seekor burung beo yang kini hendak kujadikan objek foto.
Burung beo dihadapanku ini, belum kutetapkan siapa namanya. Bulunya berwarna kuning, cantik untuk ukuran pria lajang sepertiku. Kubeli dua minggu yang lalu karena merasa jika rumahku terlalu sepi untuk hanya kuhuni seorang diri. Apalagi aku termasuk ke dalam golongan orang yang tidak memiliki banyak teman. Memiliki seekor burung beo dan menjadikannya teman berbincang, rasanya ide yang cemerlang.
Satu jam lamanya aku hanya mengelilingi burung beoku guna mencari sudut foto yang bagus. Hingga tak berapa lama setelahnya gambar baterai yang tertera di layar kamera berubah warna menjadi merah. Aku telah melupakan hal yang satu ini. Cepat-cepat kamera itu kumatikan. Aku tidak ingin kehabisan baterai saat mendapati momen itu. Saat Alain kencing di depan rumahku.
Jadi lah beberapa jam setelahnya aku hanya berbaring tiduran. Sambil sesekali memainkan gelang kerajinan kayu yang melingkar di pergelanganku. Di saat saat serupa ini, selalu saja banyak kenangan-kenangan lama yang duduk menyebelahi. Dan saat ini aku sedang kedatangan sepotong kenangan mengenai gelang usang yang kukenakan.
Aku mendapatkannya dalam rangka hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Saat itu, aku meminta kado berupa sepeda motor. Tapi Ibuku menggantinya dengan memberikan sebuah gelang kerajinan kayu oleh-oleh dari Yogyakarta. Sama sekali tidak membuatku bahagia di hari ulang tahun yang ke tujuh belas. Hari ulang tahun yang harusnya spesial. Oleh karenanya aku merajuk selama seminggu. Hingga kemudian Ibuku datang dan memberi pengertian. Kata Ibu, gelang ini pertanda bahwa Ibu siap untuk melepasku pergi. Ibu mengijinkanku untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku lalu mendongakkan kepala memandang Ibu. Tidak percaya karena itu adalah cita-cita terbesarku yang sangat sulit kudapatkan dari Ibu. Maka, setiap melihat gelang ini aku akan selalu teringat oleh Ibu dan kebebasan yang selamanya bisa kudapatkan.
Wajah Ibu membuatku lupa segalanya. Lupa pula terhadap rencanaku untuk menangkap basah Alain ketika kencing. Aku hanya ingat mengenai gelang itu. Kumainkan terus menerus sampai aku terlelap jauh.
Dan ketika membuka mata, aku baru mengingat semuanya. Aku telah kecolongan.
“Saya kencing. Kamu makan pepaya. Saya kencing. Kamu makan pepaya.” Burung beoku berkoar. Seperti hendak memberiku satu petunjuk terakhir.
Cepat aku mendekatinya lalu kudapati sepotong pepaya jadi santapannya pagi ini. Beoku memakan buah pepaya itu dengan sangat lahap. Sesuatu yang tidak pernah kulihat ketika ia berhadapan dengan pisang yang kuberikan. Ah, aku bahkan tidak pernah melihat secara langsung ia melahap pisang-pisangku. Aku hanya meninggalkannya lalu keesokan harinya mendapati pisang itu sudah tiada. Jangan-jangan pisang-pisang yang kuberikan selama ini memang tak pernah dimakan?
Aku menengok tempat sampah. Ada banyak kantung plastik di sana. Ketika kubuka, ada pisang-pisang busuk berjejalan.
Aku menyadari sesuatu. Burung beoku tidak suka pisang.
***
Sepanjang malam aku terus terjaga di ruang tamu. Mengamati burung beoku dari balik jendela. Aku akan memastikan siapa yang memberi burung beoku buah pepaya setiap hari. Dan apakah orang itu adalah orang yang sama yang kerap kencing sembarangan.
Menjelang fajar, Alain keluar dari kontrakannya. Ia lalu kencing tak jauh dari sana. Hanya sebentar. Kemudian ia berjalan ke arah ujung gang. Aku langsung keluar dari rumah. Pandanganku mengikuti sampai ia berhenti. Dan ia berhenti di sana. Di tempat yang sama ketika kali pertama aku mendapatinya kencing. Di ujung gang, di bawah pohon pepaya. Juga hanya sebentar. Ia lalu meraih pepaya yang sudah berwarna hijau tua dengan menggunakan sebilah kayu.
Aku kembali memasuki rumah. Dan ia sudah berada tepat di depan burung beoku. Ia mengeluarkan kater dari sakunya dan memotong buah pepaya menjadi beberapa bagian. Satu bagian kecil lalu ditaruhnya di dalam sangkar.
Setelah Alain menghilang dari pandanganku, aku langsung keluar dengan menjunjung dua ember besar yang penuh oleh air. Aku menyiram setiap tempat yang dikencingi oleh Alain. Aku berjanji akan menyiramnya setiap hari. Aku tidak akan melarang Alain kencing sembarangan seperti ia tidak melarangku memelihara burung beo meski aku tidak memeliharanya dengan baik.
***
Norma Sari Yulianingrum
PBSI/FPBS
UKM KIAS
14410147