“Toxic Relationship” Semakin Terbuka dan Sering Dialami Mahasiswa

Semarang, UP Radio – Isu “toxic relationship” terus mengemuka seiring kepedulian masyarakat terhadap kesehatan mental. Secara sederhana, hal itu mengacu suatu hubungan, baik itu pertemanan atau asmara, yang justru memunculkan dampak negatif terhadap kesehatan mental.

“Hal semacam itu sering terjadi di kalangan mahasiswa, tapi seringkali tidak disadari,” ungkap Novita Sari, pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Kajian Ilmu dan Apresiasi Sastra (KIAS) UPGRIS (28/06) dalam diskusi di selasar Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, Jl. Lontar.

Dalam program bertajuk Ajang Apresiasi Sastra dan Film (ASASI) #35 tersebut, digelar acara nonton dan diskusi film “Panduan Mempersiapkan Perpisahan” karya Andriyanto Dewo yang banyak menyinggung topik”toxic relationship”. Menurut Novita, sepengatahuannya, banyak mahasiswa terjerat relasi sejenis itu.

Penggambaran hubungan tidak sehat tergambar dengan jelas di film tersebut.

“Antara tokoh Bara yang diperankan Daffa Wardhana dan tokoh Demi oleh Lutesha, terjadi pola hubungan yang sangat tidak sehat. Tidak ada kejelasan, dan bisa disebut merugimkan salah satu pihak,” ungkap Novita di hadapan puluhan peserta diskusi yang malam itu memadati tempat acara.

Alya Falikhah Fatin selaku moderator diskusi juga meminta pembicara lain menyoroti sisi lain film tersebut ditinjau dari pola kreatif sang sineas. “Pola konflik yang dibangun dalam film tersebut sebenarnya sudah sangat lazim dijumpai, yaitu tegangan antara orang berpikiran modern dan tradisional- konvensional,” ungkap Widyanuari Eko Putra, penggiat buku.

Ditambahkan, relasi dua tokoh tersebut sebenarnya tengah menggambarkan situasi zaman yang kini terjadi. “Kini banyak dijumpai orang-orang menolak institusi pernikahan karena dianggap mengekang individu. Alasan lainnya adalah adanya kehendak bebas, menjadi manusia tanpa ikatan,” ungkap Widyanuari yang juga aktif di penerbit buku independen Semarang.

Kehendak bebas semacam itu justru ditengarai menjadi pemicu benturan yang akhirnya memicu “toxic relationship”. “Harus disadari, mayoritas masyarakat Indonesia masih sepakat bahwa institusi pernikahan itu penting. Tanpa ada kesepakatan yang equal, mengupayakan hubungan tanpa misi pernikahan justru merugikan pihak lain,” tambahnya.

Ketua UKM KIAS, M. Akmalul Iksan menyebut, ada dua alasan memilih film tersebut untuk didiskusikan. “Film itu diangkat dari novel, yaitu Eminus Dolere karya Arman Dhani. Ini bisa dijadikan contoh bagaimana mempelajari perubahan medium dari teks ke visual,” terangnya. Selain itu, isu yang diangkat sangat “relate” dengan anak muda. “Filmnya ringan, tapi pesannya dalam,” pungkasnya. (pai)