Semarang, UP Radio – Jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah Kota Semarang meningkat selama pemberlakukan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Penyebabnya karena tingkat stres masyarakat meningkat.
“Jadi penyebab dominan karena faktor ekonomi terjadi pada suaminya WFH dan ada yang di-PHK. Itu yang membuat orang stres picu KDRT,” kata Kabid Data dan Informasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, Mascruhan.
Dia menyebut dalam keadaan kesulitan ekonomi dan perubahan situasi yang biasanya pria berada di luar rumah untuk bekerja, tiba-tiba harus berdiam diri di rumah membuat suasana rumah tangga panas.
Dari data BP3A Kota Semarang terdapat jumlah 46 kasus yang ditangani selama Januari hingga Juni 2020. Dalam hal ini perempuan sangat rawan menjadi korban dari KDRT
“Korban KDRT paling banyak dialami oleh perempuan dewasa dengan total jumlah 30 korban. Sedangkan korban KDRT dari anak-anak mencapai 16 korban,” ungkapnya.
Selain faktor ekonomi, faktor lainnya penyebab KDRT seperti tingkat pendidikan dan lingkungan sosial.
“Sementara tingkat pendidikan dari anggota keluarga yang tinggi cenderung memahami peran dan fungsi masing-masing sehingga kekerasan dapat diminalisir. Lingkungan fisik yang sehat, lingkungan sosial yang taat norma dan hukum cenderung terhindar dari kekerasan,” ungkapnya.
Mascruhan mengaku pandemi Covid-19 juga memberikan dampak pada tidak maksimalnya pendampingan yang dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang terhadap para korban. Sebab, pendampingan yang biasanya dengan tatap muka sekarang terpaksa dengan komunikasi jarak jauh.
“Jadi korban menanggung masalahnya cenderung kompleks. Harusnya korban butuh ruang yang bisa untuk tempat mereka cari perlindungan, justru kondisi saat ini tidak bisa menghindar untuk mencari tempat aman karena jaga jarak,” ungkapnya. (ksm)