Semarang, UP Radio – Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI terus mendorong para peneliti dan perguruan tinggi untuk terus melakukan riset dan pengembangan alat-alat Kesehatan (alkes) dan inovasi bidang kefarmasian.
Dengan demikian, pihak-pihak yang masih menggunakan alkes impor, dapat dikenai sanksi.
Direktur Produksi Distribusi Alat Kesehatan Kemenkes RI Sodikin Sadek menjelaskan hal itu di sela pameran alat kesehatan dan talk show Kemandirian Alkes: Realisasi atau Ilusi yang digelar Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia di Semarang (27/6).
Usai riset terus, Kemenkes masih akan terus mendorong adanya business matching dengan para produsen agar hasil riset bisa dikembangkan.
“Dan usai diproduksi, kami masih akan mendorong mereka mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE),” terangnya.
Keberadan NIE, imbuh Sodikin, sesuai amanah UU Kesehatan 36/2009 bahwa alkes yang beredar di Indonesia harus memiliki NIE.
“Baru setelah itu baru boleh dihitung TKDN utk melihat tingkat komponen dalam negerinya,” imbuhnya.
Usai proses NIE dan TKDN, Kemenkes akan menayangkan produk-produk tersebut secara paralel di e-katalog sektoral.
“Seluruh produsen pemilik NIE bisa ditayangkan e-katalog tanpa negosiasi harga. Negosiasinya ada di tingkat user atau masing-masing RS,” tandasnya.
Adapun RS yang membeli alkes akan dimonitor Kemenkes, dengan harapan mendapatkan besaran prosentase alkes yang berasal dari impor dan juga lokal.
“Ini akan menjadi data bagi user untuk terus mengawal penggunaan produk-produk dalam negeri,” imbuh Sodikin.
Ditegaskan, pemerintah sudah berkomitmen meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
Pemerintah pusat akan melakukan evaluasi bertahap terhadap Pemda, Dinkes, atau RS yang masih menggunakan produk impor.
“Jika masih menemukannya kami akan beri sanksi. Kami sudah menggandeng BPKP, Kepolisian dan Kejaksaan, kecuali memang alkes tersebut belum bisa diproduksi di dalam negeri,” pungkasnya. (ksm)