Semarang, UP Radio – Permasalahan sosial bagi masyarakat perkotaan memang sangat kompleks. Sebagian penduduk kota sibuk menabung untuk membeli rumah ataupun kavling perumahaan sebagai impian masa depan dan hidup layak. Ternyata tidak berhenti di situ, menjamurnya pengembangan bisnis properti seperti perumahan, belum tentu perumahan tersebut memiliki makam.
Tak terkecuali di Kota Semarang. Permasalah makam ini menjadi persoalan yang cukup ironis. Tak jarang ditemui, warga perumahaan kesulitan ketika hendak memakamkan sanak saudaranya yang meninggal. Secara pengelolaan, ada dua jenis makam, yakni makam milik warga dan Tempat Pemakaman Umum (TPU) milik Pemerintah Kota Semarang.
Makam milik warga biasanya berada di level RW dan digunakan khusus bagi warga di wilayah RW setempat dan telah resmi terdaftar sebagai anggota. Jika warga tersebut merupakan pendatang atau perantau dan belum terdaftar sebagai anggota payuban permakaman di RW setempat, maka bisa dipastikan jenazah warga tersebut akan ditolak dimakamkan di makam milik warga tersebut.
Satu-satunya alternatif adalah menggunakan TPU milik Pemkot Semarang yang keseluruhan di Kota Semarang ada 16 makam. Ironisnya, hingga saat ini masih banyak praktik pungutan liar (pungli) makam hampir di keseluruhan makam milik Pemkot Semarang.
Praktik pungli makam tersebut diduga melibatkan oknum warga di sekitar TPU dan telah berlangsung lama dengan tarif beragam. Setiap warga yang memakamkan di TPU milik Pemkot Semarang, tetap dipungut biaya cukup mahal.
“Biaya kavling makam Rp 3,5 juta,” kata salah satu warga berinisial IM, belum lama ini.
Bahkan muncul istilah ‘booking’ kavling makam, seperti yang terjadi sejumlah TPU di Kota Semarang, seperti TPU Bergota, Kesambi Jalan Sompok, Ngaliyan, dan Trunojoyo Banyumanik dan lain-lain. Modusnya bisa saja mereka menggunakan makam fiktif. Lahan makam tersebut diberi batu nisan dan nama tertentu, padahal di dalamnya belum ada jenazahnya. Lahan kavling tersebut bisa ‘diperjualbelikan’ kepada warga yang mampu membayar. Akibatnya, warga yang tidak memiliki uang kesulitan mencari tempat pemakaman karena seolah-olah sudah penuh.
Ketua RT 4 RW 3 Kelurahan Karangroto, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Eko Budiyanto, mengatakan pengelolaan permakaman memang perlu dilakukan penataan. “Jangan sampai warga kesulitan memakamkan anggota keluarganya. Di wilayah kami memiliki makam sendiri yang dikelola warga. Hanya warga ber-KK (kartu keluarga) setempat yang bisa dimakamkan di situ. Biasanya hanya bayar Rp 300 ribu. Warga KK luar bisa dimakamkan di situ, tapi harus masih ada ikatan keluarga dengan warga setempat. Biayanya juga beda, yakni Rp 1,5 juta,” katanya.
Dari biaya Rp 300 ribu tersebut, lanjutnya, pihak keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan Rp 1,5 juta dari uang kas permakaman. Selain itu, warga mengumpulkan iuran per-KK Rp 5 ribu apabila ada warga yang meninggal. “Kalau pengelolaan TPU milik Pemkot, kami tidak tahu menahu,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang, Muhammad Ali tak menampik adanya praktik pungli makam di sejumlah TPU di Kota Semarang. “Memang, informasi di bawah, walaupun itu TPU (milik Pemkot Semarang), misalnya di TPU Bergota, itu (lahannya) ada yang punya. Istilahnya ‘sawah-sawahan’. Kalau ada yang mengubur di situ bayar di orang tersebut. Di Bergota kalau tidak salah Rp 3,5 jutaan. Itu (praktik pungli makam) sudah lama,” katanya, Selasa (11/6).
Dikatakannya, praktik tersebut sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak warga di sekitar TPU, sehingga praktik pungli tersebut belum bisa dihilangkan. Ali tak memungkiri praktik pungutan makam oleh sejumlah oknum masyarakat tersebut termasuk kategori pungutan liar.
“Bisa saja dikatakan seperti itu (pungli). Saya sendiri tidak setuju hal seperti itu. Saya sedang cari solusi, cara bagaimana agar semua pihak sama-sama paham, tahu, dan mengerti. Pemerintah punya tenaga penggali kubur, petugas kebersihan dan lain-lain, tapi dari pihak masyarakat masih mengkotak-kotak (makam) seperti sawah. Ini mirip bisnis, tidak hanya di TPU Bergota saja,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Ali, total ada 16 TPU yang dikelola Pemkot Semarang, praktik pungli makam serupa hampir terjadi di seluruh makam di Kota Semarang. Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pihaknya untuk mencari solusi agar praktik tersebut bisa dihilangkan. “Sesuai aturan Perda, tidak ada biaya pemakaman semahal itu. Tapi memang ada retribusi permakaman untuk Pemkot Semarang. Kalau tidak salah Rp 85 ribu satu lubang,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Suharsono mengatakan kalau masih terjadi pungli itu sangat memprihatinkan.
“Dalam kondisi masyarakat yang terkena musibah, seharusnya mendapat fasilitas dan kemudahan dalam mengurus pemakaman. Bukan malah sebaliknya. Jika terjadi pungli, maka sanksinya perlu dipertegas. Jika terjadi pungli, berarti peran kontrol pemerintah belum optimal,” katanya.
Apalagi hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pemakaman.
“Sudah ada perda yang mengatur pengelolaan pemakaman. Kejadian di Bergota jangan sampai terjadi di TPU lain. Tidak ada pungli dan penguasaan lahan makam oleh warga. Maka perlu pendataan ulang terhadap lahan makam yang masih tersedia di Bergota. Begitupun lahan makam TPU lainnya,” cetusnya. (ksm)