Semarang, UP Radio – Pengembang optimis meski kondisi pandemi masih terus berlanjut, namun hingga akhir tahun diharapkan masih berpotensi terjadi peningkatan penjualan.
Ketua penyelenggara Property Expo Semarang Dibya K Hidayat menyatakan hal tersebut saat pembukaan Property Expo Semarang ke 6 di Mall Paragon Semarang (13/11).
“Dari laporan Bank Indonesia pertumbuhan sektor property di Q3 tahun ini mengalami penurunan 30 persen dan ini harusnya sudah menimbulkan kekhawatiran, karena akan sangat mempengaruhi pendapatan negara, sehingga pemerintah diharapkan segera memberikan relaksasi untuk memperbaiki kondisi ini,” ungkap Dibya.
Meski demikian pengembang tetap berusaha memacu penjualan melalui pameran property. “Pameran Property Expo Semarang ke 6 berlangsung tanggal 13 – 29 November 2020 yang diikuti 10 pengembang di kota Semarang yang menawarkan rumah type menengah keatas,” Kata Dibya.
Menurut Dibya, pihaknya belum dapat mematok target penjualan pada pameran kali ini mengingat hasil penjualan di dua penyelenggaraan sebelumnya masih fluktuatif, pada PES ke 4 terjual hingga 49 unit namun pada pameran berikutnya hanya 11 unit saja.
Dibya mengakui perlunya sinergi pihak perbankan dan juga pemerintah untuk ikut mendorong pertumbuhan sektor property. “Saat ini permintaan rumah masih ada dan sangat besar, namun terkendala di sektor pembiayaan yang sangat ketat dalam merealisasikan KPR akibat sekyor usaha yang terdampak pandemi,” tambahnya.
Sementara itu sekretaris DPD Real Estate Indonesia Jawa Tengah Andi Kurniawan mengakui ketatnya perbankkan dalam menyeleksi nasabah kredit KPR juga ikut andil dalam penurunan penjualan property. “Saat ini bank semakin selektif dalam menentukan calon penerima KPR pasca berlangsungnya Pandemi, sehingga calon pembeli yang sebagian besar adalah karyawan swasta dan pengusaha sulit mendapat persetujuan dari Bank,” terang Andi.
Untuk itu pihaknya berharap perbankkan lebih melonggarkan kebijakan dalam menganalisa kemampuan setiap nasabah jangan hanya melihat dari efek pandemi saja.
“Yang perlu dirubah oleh perbankkan jangan hanya menilai nasabah dari dampak pandemi saja, tetapi lebih kepada analisa kemampuan membayar nasabah saja yang tentu akan berbeda sehingga sehingga nasabah yang tidak pernah ada masalah kredit perbankkan atau kredit sebelumnya bisa mendapat persetujuan,” tambah Andi.
Andi menambahkan, KPR merupakan kredit jangka panjang dan tidak akan selamanya terjadi sehingga perbankkan harus realistis mengembalikan sistem analisis nasabah ke regulasi sebelumnya.
“Perbankkan harus bijak karena saat ini kondisi usaha juga semakin pulih dan dampak pandemi ini bagi nasabah hanya dirasakan 1-2 tahun dan kemampuan nasabah sudah kembali pulih,” pungkas Andi. (shs)