Semarang, UP Radio – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Seminar Nasional Literasi (Semitra) VIII pada 2024 ini mengangkat tajuk “Intelejensia Artifisial dan Etika Pemanfaatannya di Lingkungan Akademik”.
Semitra ke VIII ini menjadi salah satu wujud konsistensi merawat suasana akademik di lingkungan universitas dengan menghadirkan pembicara Prihantoro PhD (Pakar Korpus Digital UNDIP) dan Dr Icuk Prayogi SS MA (PBSI UPGRIS).
“Kami menyambut baik kegiatan seminar nasional tahunan yang diselenggarakan prodi PBSI ini. Dari tahun ke tahun, seminar ini selalu memberikan tawaran-tawaran baik dalam merespon perkembangan zaman, termasuk pada masa ini menyambut kehadiran Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan pemanfaatannya dalam proses pembelajaran,” ungkap Dekan FPBS UPGRIS Siti Musarokah SPd MHum .
Bagi Musarokah, adaptasi dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di lingkungan akademik merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Namun demikian, etika akademik tetap harus menjadi pertimbangan utama dalam penerapannya.
Saat iini, lanjutnya, Pemerintah juga telah merespons perkembangan ini dengan menerbitkan buku pedoman berjudul “Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi” yang disusun oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“AI bukanlah kemampuan pengetahuan, akan tetapi kemampuan bahasa. Menggunakan AI agar lebih baik, boleh skeptis dengan jawaban ChatGPT, dan harus kroscek dengan sumber lain. Harus melakukan verifikasi. Misalnya dengan cara meminta mencantumkan referensi,” ungkap Prihantoro.
Menurut Prihantoro, penggunaan kecerdasan buatan (AI) memiliki sejumlah keunggulan, antara lain kecepatan, cakupan luas (coverage), interoperabilitas, kustomisasi, dan aksesibilitas. Kustomisasi memungkinkan AI untuk menjalankan berbagai perintah sesuai kebutuhan pengguna.
“Pemanfaatan AI tidak seharusnya dilarang, tetapi penggunaannya harus disertai pemahaman mendalam tentang etika yang menyertainya. Potensi bahaya IAG dalam dunia pendidikan mencakup risiko menjadikan peserta didik semakin malas belajar, kurang kreatif, hingga mempersempit peluang kerja dan meningkatkan angka pengangguran,” ungkap Icuk saat menyampaikan materi tentang pemanfaatan inteligensia artifisial generatif (IAG).
Icuk mengakui, IAG juga memiliki manfaat yang signifikan, seperti membantu dalam penyusunan perangkat pembelajaran, memfasilitasi pembelajaran bahasa asing, mengecek kesalahan berbahasa, mengoreksi jawaban esai peserta didik, hingga membantu mencari ide tulisan. Etika pemanfaatan intelejensia artifisial generatif (IAG) perlu menjadi perhatian utama.
Ketua program studi PBSI UPGRIS Eva Ardiana Indrariani berharap Semitra ini akan terus berlanjut terselenggara setiap tahun dan selalu berupaya menawarkan inovasi penyelenggaraan, termasuk menyesuaikan dengan kondisi para peserta dan pemakalah seminar.
“Masa mendatang Semitra terus bertambah peminat untuk turut serta mengikuti seminar kami ini. Kali ini didapati 206 peserta dan 21 pemakalah yang terdiri dari mahasiswa, dosen, guru, dan alumni,” pungkas Eva. (pai)