Jakarta, UP Radio – Awal musim penghujan tahun 2019-2020 di Indonesia diperkirakan mengalami kemunduran dan akan masuk pada bulan November-Desember dan puncaknya diprediksi pada bulan Januari hingga Februari tahun 2020.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Miming Saepudin dalam Konferensi Pers bersama Pakar dan Tim Intelijen di Gedung Sutopo Purwo Nugroho, Graha BNPB Jakarta (31/10).
Dalam keterangannya, masyarakat diminta untuk mewaspadai adanya potensi ancaman bencana pada masa transisi musim atau pancaroba yang ditandai dengan ciri-ciri seperti angin kencang, angin puting beliung, perubahan suhu dan cuaca ekstrem, hujan es hingga gelombang tinggi di pesisir pantai dan ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan tanah bergerak pada saat musim penghujan nanti.
“Menurut perkiraan, wilayah Indonesia yang akan memasuki awal musim penghujan dimulai dari bagian utara seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat hingga Papua bagian utara,” tutur Miming.
Menurutnya Aceh dan Sumatera Utara harus siaga banjir dan tanah longsor. Puncak musim hujan diprediksi pada bulan Januari-Februari 2020.
“Waspadai juga potensi cuaca ekstrem pada masa transisi musim (pancaroba) seperti puting beliung, hujan es, suhu ekstrem,” kata Miming.
Dalam satu pekan ke depan, potensi hujan diprediksi akan terjadi di sejumlah wilayah seperti provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Papua. Sedangkan gelombang tinggi akan terjadi di wilayah selatan dan barat daya Sumatera Selatan hingga wilayah selatan Jawa dengan perkiraan tinggi gelombang mencapai 2,5 meter.
Kendati demikian BMKG masih memprediksi bahwa kondisi tersebut masih aman untuk penyeberangan laut.
Sebagai upaya dalam menghadapi bencana pada masa transisi musim dan bencana hidrometeorologi tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menganggarkan dana sisa tahunan dengan total nilai 850 miliar.
Dana tersebut merupakan Dana Siap Pakai (DSP) yang bisa digunakan untuk penanggulangan bencana di seluruh Indonesia hingga akhir tahun ini.
Tidak hanya untuk bencana hidrometeorologi atau masa transisi musim saja, DSP ini juga berlaku untuk segala jenis bencana yang mungkin saja bisa terjadi hingga akhir tahun ini.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kelompok Perencanaan Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Badan Restorasi Gambut (BRG), Ir. Noviar memaparkan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut hingga saat ini masih terdeteksi sebanyak 31.164 yang tersebar di tujuh provinsi seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Papua.
Berdasarkan temuan di lapangan maupun pantauan satelit, hutan produksi masih mendominasi luasan karhutla. Hal itu menurut BRG dapat disimpulkan bahwa masyarakat maupun koorporasi masih melakukan pembukaan dan pengelolaan lahan dengan cara yang tidak baik, salah satunya dengan cara dibakar.
Adapun upaya BRG dalam mengatasi hal tersebut ialah dengan langkah yang dinamakan “3 R” yakni Rewetting, Revegetation, Revitalization.
Rewetting merupakan upaya untuk mengembalikan kodrat lahan gambut kembali basah dan membuat sekat-sekat kanal.
Revegetation sendiri merupakan penanaman pola maksimal dan pengkayaan tanaman. Sedangkan Revitalization adalah pembangunan alternatif komoditas dan sumber mata pencaharian masyarakat.
Dalam konteks yang sama mengenai bencana karhutla, Peneliti Ekologi Manusia Pusat Penelitian dan Kependudukan LIPI, Deny Hidayati menyoroti bahwa kesiapsiagaan penduduk dalam menghadapi asap karhutla masih minim. Menurutnya peran pemerintah daerah sebagai aktor dalam peningkatan kapasitas penduduk dalam menghadapi asap karhutla masih terbatas. Di samping itu kearifan lokal sudah bergeser.
Pihaknya mengharapkan agar sinergitas antara masyarakat dengan upaya yang telah dilakukan pemerintah seperti program Desa Tangguh Bencana (BNPB), Masyarakat Peduli Api (KLHK) hingga Kelompok Tani Peduli Api (Kementan) dapat terbina dan berjalan secara baik sehingga keduanya dapat menjadi aktor penting dalam peningkatan kesiapsiagaan terhadap karhutla untuk ke depannya.
Selanjutnya mengenai pergerakan tanah, Kepala Bidang Mitigasi dan Gerakan Tanah PVMBG, Ir. Agus B mengatakan bahwa Indonesia masih berpotensi terjadi peristiwa pergerakan tanah hingga November 2019. Beberapa faktor seperti hujan, faktor perubahan lahan, respon bumi saat hujan jatuh menjadi pemicu terjadinya pergerakan tanah tersebut.
Agus mengatakan bahwa hal itu merupakan pola yang berulang, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah yang pasti dalam menghadapi potensi ancaman bencana tersebut melalui peningkatan kapasitas dan pengetahuan masyarakat.
“Contohnya kita harus tahu lokasi rentan, tahu ancaman, tahu antisipasi, susun database. Jika ada retakan yang mengawali pergerakan tanah, maka harus membuat rambu. Jadi pahami, pantau dan lapor,” tutup Agus. (bmkg/shs)