Semarang, UP Radio – Kampung Sekayu yang berada di antara Jalan Pemuda dan Kali Semarang ini diharapkan bisa dipertahankan.
Hal tersebut dikatakan mantan Sekretaris Bappeda Kota Semarang, M Farchan, dalam focus group discussion (FGD) yang diadakan Forum Wartawan Balai Kota (Forwakot) Semarang dengan tema ‘Peran Pemikir dalam Pembangunan Daerah (kado intelektual M Farchan)’ di HOC Cafe, Jalan Hayamwuruk, Semarang.
Menurutnya, kampung ini memiliki sejarah panjang yang harus tetap dipertahankan. Terlebih, Gedung Balai Kota Semarang juga berada di Kelurahan Sekayu.
“Beberapa waktu lalu saat masih bertugas di Bappeda, Almarhumah NH Dini pernah menemui saya. Sambil menangis almarhumah meminta kepada saya untuk mempertahankan Kampung Sekayu,” kata Farchan.
Di samping sebagai tempat dibesarkannya NH Dini, lanjut Farchan, satu diantara beberapa novel milik NH Dini bertemakan Kampung Sekayu.
Sekayu merupakan kampung bersejarah di Kecamatan Semarang Tengah. Dulu, bentuk bangunan-bangunan tradisional yang dipengaruhi masa kerajaan islam hingga kolonial Belanda ada di kampung ini.
Kampung Sekayu ini pun disebut sebagai benteng modernitas karena bersentuhan langsung dengan modernisme kota.
Namun, keberadaannya di pusat kota kini ini terdesak pembangunan gedung tinggi dan berbagai kepentingan bisnis.
Adapun hilangnya kampung-kampung kuno di Semarang juga karena terdesak pembangunan seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan apartemen.
“Sejarah pembodohan warga jangan diulangi. Kampung-kampung dengan sejarahnya jangan sampai dihilangkan karena terdesak pembangunan. Sebenarnya ada banyak cara untuk tetap mempertahankan kampung-kampung itu, meski investor masuk untuk membangun. Kota Lama misalnya, tetap ada meski ada pembangunan dan investasi di sana. Apalagi Sekayu memiliki sejarah panjang berkaitan dengan terbentuknya Kota Semarang,” jelasnya.
Dalam diskusi, beberapa kampung yang mulai terdesak kemajuan zaman disebutkan oleh para pembicara seperti Kampung Jayengjatan, Kampung Basahan, Kampung Morojayan, dan beberapa kampung lain.
Pengamat sejarah Kota Semarang, Hartono mengatakan, kampung-kampung lama bersejarah harus dipertahankan. Meskipun beberapa kampung sudah hilang, dia berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melakukan revitalisasi kampung lama yang bersejarah.
“Kami menyayangkan, banyak kelurahan lama yang memiliki sejarah panjang sudah hilang dari peta Kota Semarang. Seperti Kelurahan Bergota, kini sudah jadi Kelurahan Randusari, Lemah Gempal jadi Kelurahan Barusari. Bahkan Kelurahan Melayu Darat yang di sana dulu ada sosok terkenal Kiai Darat, kini berubah nama jadi Kelurahan Dadapsari. Jangan sampai Kampung Sekayu ini juga hilang dari peta Kota Semarang karena terdesak pembangunan,” tegasnya.
Dia juga menyoroti Kota Semarang sebagai kota pesisir. Kota yang beratasan langsung dengan garis pantai ini hampir tidak memiliki pantai yang bebas diakses tanpa membayar. Mayoritas sepanjang garis pantai dari Mangkang hingga perbatasan Demak sudah dikuasai oleh pihak swasta.
“Hanya Tambaklorok dan Muara Kali Babon yang bisa didatangi masyarakat secara gratis. Lainnya harus bayar tiket atau memang ada larangan masuk karena sudah jadi pabrik. Kampung nelayan juga banyak yang hilang saat Jalan Arteri Yos Sudarso dibangun. Bisa dikatakan Semarang sudah kehilangan pesisirnya,” ujar Hartono.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang yang juga menjadi pembicara dalam FGD tersebut, Agung Budi Margono mengakui, kampung budaya yang sekarang sudah tergerus karena investasi. Tentunya hal ini harus diselamatkan. Penyelamatan kampung-kampung lama ini membutuhkan support dari pihak lain.
Pemerintah bisa menggandeng komunitas yang peduli dan bisa bergerak menghidupkan kampung. Sehingga, kampung terus berdaya dan bisa tumbuh ekonomi yang baik.
“Seperti di Kampung Bustaman yang dilakukan beberapa komunitas kepemudaan, salah satunya Komunitas Hysteria. Jika tidak ada yang mengawal ini, dikhawatirkan Semarang kehilangan tempat-tempat bersejarah di kota ini,” katanya.
Pembicara lain, Sekretaris Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, Nanik Yuliastuti menandaskan, pembangunan koya harus dibarengi dengan semangat kebudayaan.
Terlebih, Kota Semarang memiliki banyak keunikan dalam segi budaya, topografi, maupun kulinernya.
“Maka diperlukan branding yang jadi identitas kota ini. Tapi harus ada study mendalam karena Semarang memiliki sejarah yang bagus. Termasuk masalah kampung-kampung kunonya,” ujarnya. (ksm)