Film Sultan Agung, Pengingat Sejarah Perjuangan, Tahta dan Cinta

Semarang, UP Radio – Cita-cita menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa ada niat, kebulatan tekad dan keberanian mewujudkan, cita-cita hanya sebuah mimpi. Ini lah yang mendasari Mooryati Soedibyo menggaungkan semangat kepahlawanan leluhurnya ke generasi sekarang.

Lewat film Sultan Agung : Tahta, Perjuangan, Cinta, Mooryati seakan ingin mengingatkan kids jaman now bahwa kemerdekaan, kebebasan hidup yang didapat saat ini tidak diraih dengan jalan mudah. Butuh perjuangan besar, pengorbanan materi yang tidak sedikit, bahkan banyak nyawa yang menjadi taruhan.

“Sudah lama ingin ciptakan film sejarah Sultan Agung. Anak-anak sekarang, jaman now lebih suka tontonan horor, komedi. Padahal itu suatu pengetahuan yang kurang mendidik. Ini adalah film sejarah yang perlu diketahui anak-anak generasi penerus kita,” beber Mooryati Soedibyo, penggagas sekaligus produser film Sultan Agung di sela nonton bareng film tersebut di Semarang, Selasa malam (9/10).

Advertisement

Film Sultan Agung menampilkan semangat mukti utowo mati. Itu adalah teriakan Sultan Agung dihadapan belasan ribu prajuritnya sesaat sebelum menyerbu beteng Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia. Penyerbuan besar-besaran ke markas kongsi dagang Belanda itu terjadi dua kali, pada 1628 dan 1629.

Mukti utowo mati mempunya arti menang atau mati. Tidak bisa dipungkiri, ada benang merah semangat itu dengan gelora merdeka atau mati di dada pejuang kemerdekaan saat melawan agresi Belanda dan penjajahan Jepang.

Dibawah kepemimpinan Sultan Agung, 1613 – 1645, Mataram mengalami kejayaan. Seluruh adipati di Pulau Jawa, Madura hingga sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan berhasil disatukan dibawah panji Mataram.

Kendati harus lebih banyak belajar dari film bergenre serupa China, namun karya Hanung Bramantyo ini cukup menarik dengan banyaknya aksi seni bela diri silat. . Setidaknya mampu menjadi dahaga ditengah keringnya film kolosal klasik bertema sejarah perjuangan bangsa.

Belum lagi balutan perilaku ketimuran dan bumbu cinta ala Sultan Agung dan Lembayung, saat mereka beranjak dewasa. Karenanya film kolosal berlatar kehidupan masyarakat Jawa klasik ini layak jadi rujukan bagi pelajar setingkat SMP hingga SMA.

“Sultan Agung adalah pejuang yang tegas, berani dan berwibawa. Meski kalah senjata, beliau dan prajuritnya tidak kenal lelah berjuang. Ini tak hanya tontonan tapi juga tuntunan bagi generas penerus. Setelah era Majapahit, Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa, menyatukan nusantara dinyatakan kembali oleh Sultan Agung dengan perjuangannya,” beber Mooryati.  

Kegigihan Sultan Agung melawan bangsa Belanda lewat VOC, sekaligus kecintaannya pada budaya Jawa yang dipadu ajaran Islam ini yang membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Sultan Agung pada 1975.

Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono mengapresiasi semangat Mooryati yang mampu mendorong lahirnya film bermuatan pendidikan sejarah itu. “Beliau ini usianya sudah 91 tahun. Tapi spirit untuk memberikan pengetahuan sejarah ke generasi penerus harus jadi teladan kita,” ujar Condro.

Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Wuryanto menyatakan gelaran nonton barang film Sultan Agung dimaksudkan untuk mengajak generasi sekarang tidak lupa dengan sejarah. Kepahlawanan pejuang bangsa masa lampau harus terus dipupuk guna kejayaan NKRI. “Acara nonton bareng sekaligus rangkaian kegiatan HUT TNI ke-73 dan HUT Kodam IV/Diponegoro ke-68,” tukas Wuryanto. (ksm)

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement