Semarang, UP Radio – Dongeng sangat disukai oleh anak-anak sebab ceritanya menarik. Selain itu, dongeng yang dibacakan juga merangsang anak-anak untuk turut berimajinasi. Lewat dongeng pesan-pesan kebajikan dan edukatif bisa disampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Hal itulah yang coba penulis dan akademisi Muhajir Arrosyid lakukan dalam mengampanyekan isu “bullying” atau perundungan lewat serangkaian pentas dongeng Sidang Para Menthok yang digelar di Kantor Penerbit Beruang, Peterongan Timur, Semarang Selatan, pada 22 Januari 2020.
Muhajir lewat dongengnya itu bercerita tentang aksi perundungan lewat penokohan kucing dan menthok. Diceritakan, kucing menghina menthok sebab ukuran tubuhnya yang pendek dan jalannya lambat. Tidak bisa lari seperti kucing. Namun, saat tiba-tiba datang banjir, justru menthoklah yang bisa lebih dahulu menyelematkan diri ketimbang kucung. Kucing tak bisa berenang, menthok bisa.
“Lewat dongeng menthok saya ingin mengatakan kepada penonton, terutama anak-anak, agar membuang kebiasaan menghina kekurangan (fisik) seseorang. Tidak boleh seseorang direndahkan hanya karena fisik,” ungkap Muhajir pada saat diskusi selepas pentas dongeng tersebut.
Menurut Muhajir, dongeng harus bisa dimaknai ulang dengan cara seperti ini. Isu-isu terkini harus bisa dikontekstualisasikan ke dalam dongeng. Selain itu, lewat dongeng tersebut Muhajir juga ingin mengingatkan kepada para orangtua bahwa peran orangtua sangat penting di sini.
“Anak korban bullying sangat rentang berbuat hal-hal negatif. Untuk itu orangtua harus selalu sedia sebagai orang yang mau mendengar keluhan anaknya,” tukas dosen Universitas PGRI Semarang ini. Pentas dongeng ini diharapkan membuka ruang-ruang diskursif agar pemahaman publik perihal perundungan terbentu.
Sementara itu, akademisi Dr. Harjito, M.Hum menyebut pentas yang dilakoni Muhajir berhasil mengkontekstualisasikan isu-isu terkini ke dalam bentu dongeng. “Sebaiknya dongeng memang harus dimaknai secara kritis, kalau perlu dongeng-dongeng yang dianggap kurang logis direvisi agar lebih masuk akal.”
Pada kesempatan yang sama, praktisi pendidikan dan guru SD 1 Supriyadi Semarang, Hidar Amaruddin, menyebut isu perundungan memang sepantasnya terus dibicarakan di ruang-ruang yang lebih representatif. “Pengaruh media sosial sudah membuat efek perundungan kian melebar. Apalagi banyak warganet yang acap berkomentar negatif, ini menyebabkan korban perundungan kerap semakin tertekan.”
Pentas dongeng ini cukup menarik minat anak-anak sebab menggunakan media wayang berwujud hewan-hewan yang terbuat dari kertas karton. Pentas yang sengaja diselingi diskusi pada akhir pentasnya ini rencananya akan digelar di empat lokasi, yaitu Bonangrejo, Semarang, Kendal, dan Wonosalam Demak. (pai)