Kurator Tak Kompak, 72 Merek Dagang Nyonya Meneer Dijual Murah

Semarang, UP Radio – Pamor PT Perdagangan Njonja Meneer atau Jamu Nyonya Meneer makin tenggelam saat 72 merek dagangnya ternyata sudah lego dengan harga Rp 10,2 miliar melalui kurator lelang yang mewakili perusahaan jamu legendaris itu.

Dibalik proses rendahnya nilai lelang itu, ternyata dua kurator yakni Wahyu Hidayat dan Ade Liansah berseberangan soal nilai dan cara proses lelang. Namun, 72 merek itu kadung terjual oleh pelelang tertinggi melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan sepihak kurator Wahyu Hidayat.

“Pada 2 Januari 2019, saya mendapat surat tembusan (penjualan) yang dilakukan bawah tangan dan sepihak oleh Wahyu Hidayat, saya menolak mendatangani,” kata Ade Liansah.

Advertisement

Selang satu hari, atau pada 3 Januari 2019 pihaknya langsung membuat surat pernyataan dan meminta pendapat hukum dan saran proses penjualan di bawah tangan atas 72 merek itu, kepada hakim pengawas perkara Nyonya Meneer di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang.

“Bahwa saya menyatakan tidak menyetujui adanya penunjukan calon pembeli yang dikeluarkan oleh Bapak Wahyu Hidayat, secara sepihak pada 2 Januari 2019,” katanya.

Ade juga menyatakan bahwa kedepannya penjualan terhadap 72 merek aset tak berwujud (ATB) berupa merek dagang atas nama PT Nyonya Meneer harus menunggu selesainya proses perpanjangan permohonan baru. Kemudian dijual dalam keadaan terdaftar dan masih berlaku.

“Setelah 72 merek itu kembali berlaku, harus diappraisal ulang sehingga mendapat harga ideal dari nilai sebelumnya. Agar tidak bermasalah dalam proses penjualan dan proses balik nama sertifkat hak merek terdaftar dimaksud,” terangnya.

Ade menyebut, sebenarnya dalam proses lelang ada beberapa pihak yang menawar diatas Rp 10 miliar tersebut. Jika ada seorang pengusaha menawar Rp 22 miliar.

“Semisal pengusaha itu tawar Rp 20 miliar wajar lah, okelah turun dikit, tapi ini langsung di angka Rp 10 miliar. Lebih dari 50 persen,” bebernya.

Selain itu, Ade juga melihat kejanggalan pada penjualan merek oleh Wahyu kepada perusahaan Surabaya. Namun dalam proses pembayaran tercatat nama perusahaan dari Semarang.

“Itu 2 Januari 2019 saya dapat tembusan surat penjualan bawah tangan, di hari yang sama, uang pembelian Rp 10 miliar yang dibayarkan. Anehnya yang bayar atas nama PT Bumi Empon dari kota Semarang. Ini yang beli siapa, yang bayar siapa,” jelas Ade.

Ade juga berpijak pada aturan baru dari Kementerian Hukum dan Ham, dimana menyebut jika suatu merek akan dilelang, baru bisa diperjualbelikan ketika sertifikat merek masih berlaku.

“72 merek itu kedaluarsa harus diperpanjang izinnya. Karena itu penjualan lelang harus dibatalkan,” tegasnya.

Ade juga menceritakan, efek dari penjualan lelang sepihak tersebut bahwa pembeli pernah mensomasi kurator dua kali lantaran sudah enam bulan sertifikasi merek belum ada.

“Kalaupun ada yang bertanggung jawab, maka hal itu tanggung jawab kurator yang menjual. Tapi anehnya juga, pembeli tidak melihat tanda tangan kurator tidak lengkap. Hanya satu, saya tidak tanda tangan. Harusnya kalau ingin tahu bisa bertanya dulu dong,” ujarnya.

Permasalah lainnya, lanjut Ade, pernah dalam suatu pameran muncul sebuah produk yang menggunakan merek Nyonya Meneer.

Sejak dinyatakan pailit oleh PN Semarang pada 3 Agustus 2017 lalu, PT Nyonya Meneer telah menjual aset mereka yakni sebuah ruko yang ada di kawasan Kota Lama Semarang senilai Rp 7,1 miliar, dan peralatan mesin pabrik senilai Rp 2,1 miliar. (ksm)

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement