Semarang, UP Radio – Proses pembangunan kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan teknologi Landfill Gas (LFG) di area Tempat Pembuangan Sampah Jatibarang, saat ini telah mencapai 95 persen.
Sementara untuk instalasi mesin pengolahan sampah menjadi listrik sudah 100 persen terealisasi. Namun hingga saat ini PLTSa belum bisa beroperasional. Aliran listrik hasil pengoperasionalan PLTSa nantinya akan dijual kepada PLN. Karena itu, perlu adanya penyesuaian persyaratan sesuai dengan grade PLN.
Selain itu, harga jual per kwh-nya juga perlu ada kesepakatan antara pihak pengelola operator PLTSa yakni BUMD dengan PLN. Saat ini proses negosiasi masih berlangsung di antara kedua belah pihak.
“Semua persyaratan dan desain tengah digodok PLN, masih ada halhal yang perlu diperbaiki dan disepakati. Di dalamnya ada negosiasi harga dengan BUMD yang ditunjuk Pemkot Semarang, yakni PT Bhumi Pandanaran Sejahtera (BPS),” kata Program Officer Enviromental Support Program Phase 3 (ESPP3) Danida, Muhammad Nur Hadi.
Menurut dia, PLN mengundang ESPP3 untuk ikut rapat bersama beberapa waktu lalu. Dalam rapat dinyatakan bahwa referensi Permen ESDM Nomor 44 Tahun 2015 terkait penentuan harga ternyata tidak bisa dipakai.
Hal itu khusus bisa digunakan bagi PLTSa yang menurunkan sampah dengan cara pembakaran atau teknologi Insenerator. ”PLN meminta agar negosiasi harga didasarkan atas nilai investasi dan keuntungan yang akan didapatkan. Adapun penandatanganan kontrak kesepahaman, berdasarkan SOP dari PLN diperkirakan akan berlangsung Mei. Namun, kami menyatakan keberatan karena April telah selesai masa kerjanya untuk fase ketiga,” imbuh dia.
Energi listrik yang akan dihasilkan dari PLTSa diperkirakan akan sebesar 800 Kw. Sementara listrik itu akan dijual bagi konsumen bersubsidi yang menggunakan jasa 1.300 watt.
”Kemungkinan akan dapat mengaliri bagi 615 rumah tangga. Dengan asumsi, mesin instalasi PLTSa dan pemakaian listrik berjalan 24 jam, tanpa henti,” papar Nur Hadi. (ksm)