Semarang, UP Radio – Komunitas Peduli Transportasi Kota Semarang menilai persoalan kemacetan lalu lintas di Kota Semarang kian parah. Solusi pengadaan transportasi massal yaitu Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang hingga kini juga belum bisa mengatasi persoalan tersebut.
Ketua Komunitas Peduli Transportasi Kota Semarang, Theresia Tarigan mengatakan, Kota Semarang tak beda dengan kota-kota lain di Indonesia yang pertumbuhan kendaraan pribadinya sangat pesat. Pertumbuhan kendaraan itulah yang mengakibatkan persoalan kemacetan kian parah.
“Pembelian dan penggunaan kendaraan pribadi harus diatur dengan membatasinya hanya untuk perjalanan ekonomi tinggi yang tepat. Pembatasan ini perlu mengingat jalan dan lapangan parkir masih terbatas,” kata Theresia.
Ia mengungkapkan, pertumbuhan kendaraan pribadi itu ditunjang kemudahan pembelian dengan cicilan yang ringan. Padahal, Peraturan Menteri Keuangan mengharuskan uang muka (down payment) pembelian kendaraan harus 20 persen dari harga.
Atau, lanjutnya, pemerintah bisa meniru Singapura yang tidak memberi persyaratan kepemilikan kenderaan bermotor. Akan tetapi harus dapat membayar mobil dengan lunas juga membayar Certificate of Entitlemet yang berkisar Rp 600 juta per mobil dan sekitar Rp 60 juta untuk sepeda motor. Atau negara lain di antara Jepang yang juga memberlakukan peraturan tersendiri.
“Kemudahan mempunyai kendaraan pribadi itu menjadi satu penghalang bagi pengelola transportasi publik untuk mendapatkan penumpang bahkan walaupun pelayanan transportasi publik sudah cukup baik dan murah,” ujarnya.
Jika tidak ada pembatasan dan pertumbuhan kendaraan pribadi tetap pesat, tidak menutup kemungkinan transportasi publik di Kota Semarang seperti Trans Semarang tutup. Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada Trans Sabargita di Bali yang telah ditutup karena warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Untuk itu, ia meminta kepada pengelola BRT Trans Semarang untuk berbenar dan terus meningkatkan sarana dan prasarana maupun kualitas layanan kepada penumpang. Pasalnya, meski ada peningkatan jumlah penumpang tiap tahunnya, namun Trans Semarang yang sudah beroperasi 9 tahun dinilai masih belum bisa menarik penumpang yang notabene mempunyai pilihan kenderaan pribadi.
Ia beralasan, Trans Semarang masih perlu perbaikan dalam beberapa aspek utama. Yaitu faktor akses yang dinilai masib jauh dari lokasi rumah maupun tujuan penumpang. Kemudian, faktor konektivitas rute Trans Semarang yang masih perlu dikaji sehingga menghubungkan pemukiman ke seluruh pusat kota dan pusat kegiatan lainnya.
“Sejak awal adanya Trans Semarang tidak pernah dilakukan evaluasi rute angkot dan Trans Semarang hingga saat ini. Dengan perbaikan rute maka waktu tempuh penumpang akan lebih cepat. Waktu tunggu kedatangan bus Trans Semarang belum mampu memenuhi SPM Kemenhub yaitu 12 menit,” paparnya.
Selain itu, faktor cakupan pelayanan georafis dan waktu layanan. Theresia mengatakan, Trans Semarang masih jauh dari stander ideal 90 persen warga akses terhadap angkutan umum. Menurutnya perlu identifikasi asal perjalanan terutama asal perjalanan permukiman.
“Saat ini Trans Semarang masih melayani hinggga pukul 18:30 WIB. Padahal permintaan perjalanan masih tinggi hingga pukul 22.00 WIB saaat pekerja pulang kerja shift ke-2 atau saat toko tutup,” tambahnya.
Faktor lainnya yaitu kenyamanan yang dirasakan penumpang. Saat ini masih banyak ditemukan penumpang bus Trans Semarang yang berdesakan khususnya pada jam pulang kerja. Kemudian, banyak keluhan penumpang bus dikemudikan dengan kecepatan yang tinggi.
“Transportasi publik Kota Semarang harus diperbaiki dengan mengevaluasi baik rute maupun tingkat pelayanannya. Perbaikan ini harus melibatkan penumpang yang sehari-hari menggunakan Trans Semarang. Evaluasi rute dan terkait integrasi dengan angkot untuk memperluas cakupan pelayanan transportasi publik merupakan hal yang paling esensial dan mendesak,” jelasnya.
Terkait bentuk pembatasan kendaraan pribadi, katanya, pemerintah harus tegas pada aturan Menteri Keuangan bahwa uang muka pembelian kendaraan adalah 20 persen. Ia juga mengusulkan pembuatan Perda untuk menetapkan aturan terkait kepemilikan garasi sebagai syarat mempunyai mobil dan usulan ke Polri agar usia mengajukan SIM C menjadi 19 tahun agar tidak ada anak SMU/SMK menggunakan sepeda motor ke sekolah.
“Jika penggunaan kendaraan pribadi tidak segera dibatasi dan tranportasi publik tidak segara diperbaiki secara komprehensif, maka masalah macet, polusi dan panas, kecelakaan, tingginya biaya transportasi tidak tertangani,” tandasnya.
Terkait keberadaan BRT, Kepala Badan Layanan Umum (BLU) Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan mengatakan, hingga saat ini pihaknya terus berbenah. Aksesbilitas Trans Semarang akan mulai dikembangkan pada 2019 mendatang dengan dioperasionalkannya angkutan feeder Trans Semarang.
“Kami mulai kembangkan tahun 2019 besok berupa feeder. Kami tidak perlu mengadopsi daerah lain karena punya cara sendiri untuk menggandeng angkot bergabung dengan sistem Trans Semarang,” katanya.
Sementara terkait rute, Ade mengatakan, dengan rute yang ada saat ini sudah ada kenaikan load factor penumpang tiap bulannya. Justru yang harus dilakukan yaitu penambahan unit bus yang berkapasitas besar agar kapasitas penumpang juga bertambah.
“Kalau rute angkot bukan ranah kami. Namun dengan rute BRT saat ini, load factor penumpang tiap bulan dan tiap tahunnya bertambah di tiap-tiap koridor. Justru kami sedang berupaya menambah jumlah armada spy agar bisa menambah kapasitas penumpang,” jelasnya.
Sementara terkait jam layanan operasional Trans Semarang, Ade menyatakan, saat ini dalam kajian. Direncanakan pada 2020 mendatang, akan ada penambahan jam layanan. Hanya saja, hal itu membutuhkan penambahan anggaran yang jumlahnya cukup besar. (ksm)