Semarang, UP Radio – Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menegaskan jika batas penutupan kompleks Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning pada tahun 2019. Komplek pembinaan sosial yang kini justru menjadi lokalisasi itu dinilainya ilegal.
“Kalau dari surat Kementerian Sosial mereka mengatakan 2019 di Indonesia tak ada lokalisasi lagi, termasuk Argorejo di Semarang, ini PR buat kami,” kata Hendi, sapaan Wali kota.
Oleh karenanya, Hendi mengaku sudah jauh hari mensosialisasikan adanya penutupan tersebut. Baik kepada pengelola Argorejo maupun yayasan NGO (non government organitation).
“Intinya mereka mau kok ditutup hanya tidak seketika ,tidak ujug-ujug, harus melewati sebuah proses misalnya setelah ini perempuannya mau dikemanain, setelah ini usaha karaokenya mau digimanain, dan seterusnya,” ujar Hendi.
Saat ini melalui Dinas Sosial Pemkot Semarang tengah merumuskan persoalan teknis apa saja untuk bisa mengalih profesikan warga binaan resos Argorejo saat kembali ke masyarakat.
“Kepala Dinas Sosial untuk menyelesaikan persoalan-persoalan teknis ini. Nanti kalau memang sudah waktunya, entah 2018 atau paling lambat tahun depan akan kita tutup pasti,” tandasnya.
Terkait akan dijadikan apa usai ditutup, Hendi mengungkap jika idealnya bisa dirubah jadi sebuah kawasan pondok pesantren moderen atau Islamic Center. Bahkan Pemkot Semarang mempersilakan pihak swasta untuk ikut bersama berinvestasi untuk kegiatan lebih positip lainnya.
“Idealnya kalau anggaran (APBD Pemkot) cukup, itu tanah harus dibeli oleh pemerintah atau swasta kemudian dijadikan lokasi yang peruntukannya untuk misalnya pondok pesantren moderen, atau Islamic Center, atau ya monggo kalau swasta untuk kegiatan lainnya seperti pusat ekonomi,” terangnya.
Kendati demikian, Hendi menuturkan jika anggaran Pemkot Semarang untuk pembelian aset tanah kompleks Argorejo belum cukup secara pendanaannya. Dan butuh waktu sekitar dua sampai tiga tahun kedepan untuk mencukupi pendanaan.
“Kami sudah intip anggaran Pemkot sendiri untuk penyelesaian dengan memakai metode membeli semua aset ini belum mampu, mungkin dua tiga tahun mampu, persoalannya tahun depan kan harus tutup,” ujar Hendi.
Sehingga, sampai saat ini pihaknya masih berupaya pada penataan dan pembinaan sosialisasi kepada warga resosialisasi Argorejo terutama para perempuan dan pemilik rumah.
“Ya untuk membelokan aktivitas kegiatannya dari hal-hal yang sifatnya ‘jual beli’ mohon maaf seperti itu, atau karaoke yang tak berizin menjadi hal-hal yang positip,” katanya.
Hendi mengakui, kendala pembebasan aset tanah Argorejo memang berlarut mengingat 2019 harus sudah ditutup. Beberapa kendala diantaranya warga penghuni Argorejo kebanyakan bukan warga asli sehingga keterlibatan para perempuan tersebut untuk memulangkan ke tempat asalnya perlu sebuah pelatihan skill.
“Selain itu kepemilikan tanah adalah milik pribadi masing-masing, ndak mungkin kemudian kita bisa ngomong sudah tak ditutup yak, pasti kita harus ajak rembugan. Tadinya yang mereka dapat rejeki di situ terus tidak dapat terus gimana, itu salah satu kendala yang membuat kecepatan dalam menutup ini tidak bisa lugas taktis,” paparnya.
Lantaran ilegal, Hendi menyebut tak ada keuntungan secara ekonomis dari kegiatan ekonomi disitu baik tempat karaoke maupun bisnis lainnya.
“Tak ada pajak dan retribusi, dan tak mungkin, masak kita ambil pajak dari jual beli kayak gitu, karaokenya juga tak berijin kok,” ujarnya.
Hendi lebih melihat persoalan penutupan Resos Argorejo Sunan Kuning lebih pada persoalan sosial kemanusiaan untuk bisa mengembalikan harkat dan martabat perempuan-perempuan tersebut saat kembali ke masyarakat.
“Jadi ini lebih pada sebuah persoalan sosial kemanusiaan saja. Kita harus pertimbangkan hal itu. Kalijodo dan Dolly itu contoh sukses yang saya minta kepada Kadinsos untuk meniru,” tandasnya. (ksm)