Semarang, UP Radio – Pertanian urban atau urban farming gagasan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mendapat respons positif dari pakar teknologi pangan. Program yang digencarkan perempuan dengan sapaan Mbak Ita tersebut, dinilai menjadi sebuah keniscayaan.
Guru Besar Toksikologi Lingkungan Soegijapranata Catholic University (SCU), Prof Budi Widianarko mendukung Mbak Ita dalam mengemas Kota Semarang sebagai metropolitan dengan tetap menjaga lahan pertanian aktif.
“Saya mendukung, Semarang itu cukup unik sebagai kota metropolitan. Dia punya Dinas Pertanian artinya kegiatan pertanian masih ada,” kata Prof Budi.
Dia mengatakan, kampanye pertanian urban yang dilakukan Mbak Ita telah berjalan dengan baik. Hanya saja, perlu dukungan lebih dari masyarakat.
Kendati begitu, dia menyatakan secara prinsip Kota Semarang telah membuktikan dapat memanfaatkan ruang atau lahan yang masih ada di wilayah perkotaan. Dia pun ikut mengkampanyekan progam urban farming melalui jurnal.
“Saya pernah menulis jurnal tentang kota yang menyumbang pangan, itu sebuah keniscayaan. Jadi sekarang kota-kota di dunia itu berusaha untuk memanfaatkan peluang menghasilkan makanan,” ujarnya.
Dia mengatakan, cadangan beras di Kota Semarang masih menyentuh 16 persen. Menurutnya, kondisi itu merupakan buah yang dituai di tengah banyaknya krisis melanda dunia.
“Senyampang (beruntung-red) Kota Semarang masih punya area yang namanya sawah dan lahan kering, itu kesempatan untuk sekaligus bukan hanya city trending tetapi menjadi identitas Kota Semarang metropolitan yang punya pertanian,” ujarnya.
Kondisi tersebut, menurutnya, harus didukung dari berbagai lini. Pasalnya pangan memiliki problem faktor eksternal seperti terjadinya perang Rusia dengan Ukraina yang membuat pasokan bahan pupuk dan gandum tertahan.
“Produksi jalan tetapi begitu ada perang seperti Ukraina dengan Rusia, pupuk saja tidak bisa keluar, gandum juga, lalu negara-negara seperti India dan Vietnam menahan beras. Itu tren yang sangat dan harus diperhitungkan dari sisi ketahanan,” ujarnya.
Sedari awal, pihaknya turut mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang hingga bisa konsisten dengan pertanian urban. Langkah itu upaya untuk menahan terjadinya konversi lahan. Termasuk memantik anak muda menggeluti kembali profesi petani.
“Saya optimistis kalau program itu didukung oleh satu ekosistem yang namanya rantai pasok pendek, yaitu, hubungan hulu dan hilirnya dekat jadi produksi dan pasar di wilayah yang sama,” ujarnya.
Mantan Rektor Unika Soegijapranata itu meyakini, rantai pasok pendek melalui Toko Pandawa Kita dapat menggiring anggapan bahwa profesi petani dapat menghasilkan atau menjadi mata pencaharian.
Selain itu, kata dia, penting memberikan pelatihan kepada petani muda untuk memasarkan produksinya. Termasuk penguatan melalui regulasi yang dimudahkan.
“Itu harus dikaitkan dengan gairah pariwisata yang benar-benar tumbuh. Jadi rantai pasok pendek ini hubungan antara industri wisata dan kuliner dengan petani disambungkan. Tanpa itu tidak akan menarik,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia menyatakan Pemkot Semarang telah mendukung penuh dengan menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Gerakan Pembudidayaan Pertanian Perkotaan di Kota Semarang.
Dasar itu menjadi penting lantaran Kota Semarang memberi ruang hidup bagi pertanian sebagai wujud pengembangan dan pembangunan kota yang berkelanjutan. Lahan yang menjadi pusat perhatian seperti di Kecamatan Gunungpati dan Kecamatan Mijen, perlu dijaga.
“Contohnya Perwal tentang urban farming, lahan pertanian keberlanjutan itu yang harus dijaga, tidak bisa dialih fungsi dan harus dikawal,” ujarnya.(ksm)