Pendidikan Menjadi Benteng Terakhir Menghadapi Era Disrupsi

Semarang, UP Radio – Menghadapi era disrupsi dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, dunia pendidikan menjadi benteng pertahanan terakhir yang bisa diandalkan.

Pemikir pancasila dan kebangsaan, Yudi Latief, P.hD mengungkapkan cepatnya terjadi perubahan menyebabkan kelompok masyarakat yang gagap teknologi (gaptek) dan tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan akan gampang sekali terlibas oleh produk teknologi yang pada mulanya dimaksudkan untuk mempermudah manusia justru berlaku sebaliknya akan “menjerat” manusia.

Hal tersebut dikatakannya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertema “Penguatan SDM di Era Disrupsi Teknologi melalui Pendidikan” yang dihelat oleh Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Keolahragaan dan Rekreasi (FPIPSKR) Universitas PGRI Semarang di Gedung Pusat Lantai 7 (13/09).

Advertisement

Yudi mencontohkan, media sosial yang kini tak lagi mempererat hubungan manusia tapi menjauhkan. “Tujuan mulia media sosial untuk menghubungkan dan membuka relasi manusia seluas-luasnya kini beralih menjadi media penampung ujaran kebencian. Belum lagi tantangan dunia kerja yang menuntut generasi hari ini nyaris berubah setiap harinya,” tuturnya.

Benteng pendidikan, lanjut Yudi, harus mampu mengokohkan kembali karakter dan kepribadian yang bermuara pada pembentukan kecerdasan personal dan kolektif. Lewat pendidikan berkarakter semacam itulah sebenarnya masyarakat Indonesia bisa bertahan dari perubahan pesat di bidang teknologi dan globalisasi.

“Tugas lembaga pendidikan hari ini ialah membentuk manusia yang siap menyesuaikan diri dengan adanya disrupsi. Lembaga pendidikan tidak ditujukan untuk mencetak batu bata, yang artinya hanya siap pakai untuk tenaga kerja. Tetapi buatlah seperti tanah liat. Menghadapi perubahan dengan gesit,” ucap mantan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini.

Penegasan tersebut tentu bukan tanpa dasar. Pasalnya saat ini bangsa Indonesia telah menjadi bangsa “mega sosial media”. Kemudahan komunikasi bukannya menyatukan rasa kesatuan berbangsa, justru melemahkan. “Di masa lalu, di zaman yang serba terbatas, rasa kebangsaan kita justru kuat. Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Sunda, dan jong yang lainnya, rela mengesampingkan perbedaan demi bangsa dan negara,” tambahnya.

Untuk itul masyarakat Indonesia perlu meneguhkan kembali pemahaman Pancasila berdasar 3T yang meliputi Pancasila sebagai titik temu yang berarti sebagai penyatu, Pancasila sebagai titik pijak, yang artinya sebagai landasan dalam besikap, berbangsa, dan bernegara, dan Pancasila sebagai titik tuju, yang maksudnya ialah Pancasila sebagai tujuan dan cita-cita hidup bersama bangsa Indonesia.

Sementara itu Rektor Universitas PGRI Semarang Dr.Muhdi SH. MHum menilai seminar ini menjadi salah satu tonggak untuk semakin merekatkan anak bangsa. “Suasananya sangat tepat untuk membicarakan Pancasila. Kondisi politik hari ini sudah pada tahap saling larang-melarang kebebasan nerpendapat masing-masing individu untuk bicara,” ucap Muhdi.

Seminar Keindonesiaan kali ini merupakan kali ketiga yang diselenggarakan di UPGRIS. Sebelumnya, FPIPSKR juga telah mengundang Romo Mudji Sutrisno dan Romo Franz Magnis-Suseno. Pada Seminar kali ini, selain menghadirkan Yudi Latif, turut mengundang pula Prof.Dr. Joko Widodo, M.Pd dan Dr.Sulaiman, M.Pd., dari Universitas Negeri Semarang, serta Dr. Agus Sutono, M.Phil sebagai moderator yang dihadiri empat ratus mahasiswa.(rls/shs) 

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement