Semarang, UP Radio – Masyarakat diminta untuk mulai membiasakan menggunakan energi baru terbarukan guna menurunkan penurunan emisi gas rumah kaca. Pasalnya, emisi gas rumah kaca selama ini telah banyak menimbulkan dampak lingkungan yang cukup serius, seperti rob yang terjadi di wilayah pesisir Jawa Tengah.
Pengamat Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang, Dr. Ir. Djoko Suwarno, M.Si. mengatakan, emisi gas rumah kaca menyebabkan es di kutub utara dan selatan mencair, sehingga menyebabkan peningkatan permukaan air laut. Akibatnya, sejumlah wilayah di pesisir, seperti Pekalongan kerapkali diterjang rob dengan kondisi yang cukup parah.
“Ini diperparah juga dengan penggunaan air tanah, yang menyebabkan tanah menjadi turun. Selain itu, rob juga menyebabkan pengeluaran biaya untuk membangun jadi lebih mahal, karena harus menguruk tanah,” katanya.
Ditambahkan, dampak lain dari emisi gas rumah kaca, khususnya yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan oktan rendah juga bisa menyebabkan sejumlah penyakit, seperti infeksi saluran pernafasan akut dan kanker. Bahkan, unsur Pb atau timbal pada BBM dengan oktan rendah juga beresiko pada janin.
“Yang berbahaya unsur dalam bensin itu ada kandungan Pb yang berbahaya bagi janin dalam kandungan ibu hamil. Maka, kita semua ayolah mengurangi BBM oktan rendah,” imbuhnya.
Djoko juga mendukung program pemerintah dalam penggunaan Bio Diesel untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Namun demikian, pemerintah juga mesti memperhitungkan ketersediaannya, mengingat CPO juga digunakan untuk bahan baku minyak goreng yang dibutuhkan oleh masyarakat.
“Kami mendorong Bio Diesel tidak menggunakan 100 persen CPO. Kami sudah melakukan penelitian bahwa sebenarnya limbah dari kelapa sawit juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bio diesel,” ungkap Djoko.
Sementara itu, sebagai perusahaan energi yang telah berkiprah di kancah global, PT Pertamina (Persero) menegaskan kembali komitmennya sebagai perusahaan yang peduli pada aspek lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan yang baik. Salah satunya ditunjukkan dengan menetapkan program transisi energi sebagai prioritas utama perusahaan.
Saat ini, Pertamina telah memainkan peran penting dalam memimpin transisi industri energi Indonesia dengan menargetkan bauran energi dan pengurangan emisi. Pertamina menargetkan, penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang lebih komprehensif sebesar 30% sebelum tahun 2030.
Selain itu, Pertamina akan memprioritaskan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk mengatasi permasalahan lingkungan, yang sejalan dengan Bauran Energi Indonesia pada tahun 2030.
Pertamina juga mendukung Pemerintah Indonesia dalam Presidensi G20 yang telah memilih transisi energi sebagai salah satu prioritas utamanya. Sebagai bagian dari The Business 20 Task Force on Energy, Sustainability, and Climate, Pertamina memiliki prioritas yang sama dengan G20 Indonesia, yang harus menjadi katalisator yang kuat untuk pemulihan hijau dan berjalan seiring dengan prinsip-prinsip ketahanan energi, pemerataan energi dan kelestarian lingkungan.
“Pertamina berkomitmen untuk dikenal tidak hanya sebagai pemain energi global tetapi juga sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, bertanggung jawab secara sosial dan menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik,” ujar Nicke Widyawati, CEO PT Pertamina, baru – baru ini.
Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, Pertamina telah membentuk Komite Keberlanjutan pada tahun 2021, yang dipimpin langsung oleh CEO Pertamina. Komite ini menaruh perhatian besar terhadap isu-isu energi global termasuk program transisi energi.
Nicke menuturkan, upaya Pertamina mengembangkan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dilakukan dalam 8 inisiatif strategis, antara lain pengembangan kilang hijau, pengembangan bioenergi, komersialisasi hidrogen, gasifikasi, inisiasi ekosistem baterai dan penyimpanan energi terintegrasi, serta peningkatan kapasitas terpasang panas bumi.
“Kami percaya bahwa sumber daya panas bumi Indonesia yang melimpah yang tersebar di cincin api dapat menjadi tulang punggung yang kuat untuk mempercepat transisi energi, yang sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih,” tandas Nicke.