Muhajir: “Duit Lanang” Soroti Perempuan Penghibur dari Perspektif Budaya

Semarang, UP Radio – Pengarang punya peluang besar untuk mengangkat peristiwa-peristiwa keseharian yang penuh dinamika sosial ke dalam karya sastra. Dengan begitu, sastra meskipun sifatnya yang fiktif, punya kemampuan untuk menggambarkan dimensi sosial pada suatu kelompok masyarakat.

“Sastra bisa dijadikan alat dokumentasi sosial yang menarik. Penyampaiannya yang naratif dan cair menjadikannya lebih enak dibaca oleh khalayak luas,” ungkap Ahmad Kharirudin alias Adin Hysteria, dosen antropologo Undip, dalam acara Sidang Pembaca buku ”Duit Lanang” karya Muhajir Arrosyid, di Hotel Citra Alam Demak, (7/11) yang diselenggarakan oleh Penerbit Beruang Semarang.

Adin menambahkan, pencatatan dokumentasi sosial yang tertuang di jurnal dan hasil penelitian seringkali kering dan kurang menarik untuk dibaca. Termasuk dalam isu “duit lanang” ini. Muhajir dalam bukunya menampilkan gelagat melakukan pencatatan sosial, terutama wilayah Demak dan sekitarnya.

Advertisement

p

“Sastra dengan misi pendokumentasian sosial saya kira punya bobot yang lebih, ada “darah” dan “daging” yang berasal langsung dari kondisi real di lapangan,” ungkap Direktur Kolektif Hysteria tersebut.

Meski demikian, menurut Adin, kacamata dalm melihat “duit lanang” sebenarnya problematis. “Di satu sisi ini adalah cara melihat suatu fenomena secara kultural, di sisi lain ada citra negatifnya pula,” pungkas Adin.

Beririsan dengan pernyataan Adin, penggiat literasi dan novelis nasional dari Demak, Dian Nafi, menyebut cerita-cerita yang ditulis Muhajir memiliki tautan ingatan atas kondisi Demak, terutama dalam konteks kehidupan jalanan. “Banyak momen dalam cerita di buku ini yang mengingatkan saya pada hal-hal “urban” di sekitar Demak.

Dian menambahkan, risiko menulis cerita dengan materi kehidupan pekerja di sekitar jalur Pantura Demak pasti akan bersinggungan dengan isu kekerasan.

“Kehidupan para sopir, perempuan warung kopi, dan dunia malam jalanan, mau tidak mau akan bersentuhan dengan isu feminisme dan kesetaraan gender.” Menurut Komite Sastra Dewan Kesenian Demak ini, cerpen-cerpen Muhajir pun akan sangat menarik ketika dibedah menggunakan pisau bedah feminisme dan kesetaraan gender.

Sementara itu, menanggapi pembahasan atas kedua pembicara, Muhajir menganggap apa yang ia tulis adalah hal-hal sebenarnya bisa dijumpai di kenyataan, termasuk dalam konteks “duit lanang”.

“Duit Lanang sebenarnya bisa dilihat sebagai peristiwa sosial yang menempatkan perempuan-perempuan yang terlibat prostitusi namun dibingkai dalam kacamata kultural. Duit lanang adalah uang milik suami di luar kewajibannya kepada istri,” ungkap dosen di Universitas PGRI Semarang ini.

Muhajir menegaskan, dengan logika bahwa para perempuan penghibur sebenarnya hanya menampung “duit lanang” tanpa harus menggangu jatah uang untuk para istri para lelaki itu, posisi para perempuan penghibur menjadi lebih netral dan tidak berkesan merendahkan. (hjr)

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement