Semarang, UP Radio – Kondisi penurunan muka tanah di Kota Semarang terus terjadi. Sebab, masih banyaknya eksploitasi pengambilan air bawah tanah (ABT), serta kondisi alam membuat beberapa wilayah di pesisir Semarang terendam air. Bahkan, sejumlah lahan tambak, permukiman, pemakaman, dan lapangan banyak yang sudah sebagian hilang akibat ganasnya alam.
RW 15, Kelurahan Tanjungmas contohnya, menjadi salah satu wilayah yang mencoba bertahan dari air laut. Warga daerah yang dikenal dengan Tambak Lorok ini harus menguruk tempat tinggalnya agar tidak terendam air rob. Bagi yang punya budget/dana terbatas tentu harus menanggul rumah agar air tidak masuk.
Salah-satu warga Slamet Riyanto yang juga ketua RW 15 ini rumahnya nyaris tenggelam karena jalan perkampungan ditinggikan. Lantai dua rumahnya hanya berjarak kurang lebih 1,5 meter dari jalan. Sementara lantai pertama ternit sudah nyaris menyentuh kepala.
“Ini rumah mertua saya, dulu lantai satu ya hampir dua meter. Sekarang hampir satu kepala, memang ada penurunan tanah disini,” kata istri Slamet, Sri Wahyuni, Kamis (12/8/2021).
Tanggul diteras rumah sengaja dipasang agar air rob tidak masuk saat pagi hari. Selain itu meteran listrik sudah beberapa kali ditinggikan agar tidak terkena air.
“Kalau yang uangnya banyak ya ditinggikan, namun paling setahun kembali terendam rob. Jalan depan rumah juga sudah ditinggikan, nggak lama juga terendam,” jelasnya sambil menunjukkan ketinggian air sekitar selutut.
Namun tidak dipungkiri jika warga enggan pindah, menurut dia, suaminya yang asli warga Tambaklorok mencoba beradaptasi. Termasuk warga lainnya yang bernasib sama dengan dirinya, menurutnya ada sekitar 500 kepala keluarga yang ada di wilayah ini juga merasakan hal yang sama.
“Dulu Pemkot pernah kesini dan akan membangun sabuk pantai biar robnya tidak masuk. Katanya ada wacana juga tol atau tanggul laut, harapan saya bisa terealisasi sehingga warga bisa hidup tenang,” pungkasnya.
Abdul Wachid, 50, warga lainnya mengaku saat kecil masih ada makam dan lapangan di sebelah utara perkampungan. Namun saat ini sudah tenggelam, rumahnya pun hampir sama dengan rumah milik Slamet yang makin pendek karena penurunan tanah.
“Sudah tenggelam semua, agar tidak kena rob ya harus meninggikan rumah,” ujarnya.
Area pemakaman sendiri kini hilang tak berbekas, kadang hanya terlibat batu nisan diatas permukaan air. Ada pula yang diberi tanda dengan kayu agar mudah menemukan makam keluarga yang sudah meninggal. “Nggak sempat dipindah, kalau ziarah ya pakai perahu atau dekat makam yang kering kalau robnya turun,” ungkapnya.
Sekretaris Daerah Kota Semarang, Iswar Aminuddin, menjelaskan pemerintah Kota Semarang sebenarnya sudah melakukan langkah antisipasi. Menurut mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) ini, penurunan tanah pertahun sekitar 10 sentimeter.
“Penurunan tanah atau land subsidence itu penelitian memang sudah lama. Ada penurunan setiap tahun sekitar 10 sentimeter. Menurut penelitian pula, land subsidence mulai terjadi 20-30 tahun lalu,” katanya.
Faktor penyebab penurunan tanah sendiri, bukan hanya dari pengambilan air saja. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut. Namun penelitian yang sudah ada, juga digunakan sebagai referensi untuk melakukan langkah antisipasi.
“Misalnya SPAM Semarang Barat untuk berikan air bersih di kawasan Barat Kota Semarang. Beberapa daerah yang belum menggunakan PDAM bisa teraliri, kawasan industri pun sudah berkurang pengambilan air tanahnya,” terangnya.
Selain Pemkot, Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Pusat juga melakukan upaya agar wilayah pesisir ini tidak terus tenggelam. Misalnya dengan adanya perda larangan pengambilan air tanah, dan dua proyek jalan tol, yaitu Tol Semarang-Demak yang sudah berjalan di sesi 2 dan juga ada Tol pelabuhan atau Harbour To Road. Tol tersebut lanjut Iswar memiliki fungsi sebagai tanggul. (ksm)