Semarang, UP Radio – Cerita pendek menjadi medium populer untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai moral. Bentuk cerita yang bisa disesuaikan dengan keperluan, membuat ia mudah untuk dimanfaatkan sebagai media pendidikan yang ringkas namun tak membosankan.
Pun demikian dengan sifat cerita pendek yang lentur dan kontekstual dengan persoalan dan kebutuhan. Cerita pendek yang hanya berjumlah tiga paragraf pun bisa dimaksimalkan bagi mereka yang tak memiliki daya tahan membaca yang panjang.
Hal itu disampaikan oleh Muhajir Arrosyid, dosen Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, Universitas PGRI Semarang, dalam acara Webinar Literasi, dengan topik Cerpen Tiga Paragraf: Alternatif Bentuk karya Sastra bagi Pendidik, (6/4).
Acara ini digelar Yayasan Jungpara bersama FPBS UPGRIS dan Dinas Dikpora Jepara serta Komunitas Rumah Belajar.
“Cerita tiga paragraf ini bukanlah jenis asing di dalam karya sastra. Roni Agustinus pernah menerjemahkan sebuah cerita model begini dari sastrawan Amerika latin berjudul Matinya burung-burung,” ujar Muhajir.
Namun, pola semacam itu belum banyak dimanfaatkan dalam pengajaran. Untuk itu, Muhajir mengajukan cerpen tiga paragraf sebagai salah satu karya sastra yang memudahkan bagi guru sekaligus murid.
“Untuk menuliskannya, para guru harus mempersiapkan cerita yang mengemban satu gagasan. Dan gagasan ini sudah harus ada sebelum cerpen ini ditulis sehingga tidak bertele-tele,” katanya.
Selain itu dalam menerapkan Teknik bercerita, komponen-komponen cerita harus sudah dikuasai oleh penulis cerita tiga paragraf ini agar cerita berjalan efektif.
“Cerita tiga paragraf ini akan sangat membantu pendidik dalam melatih bercerita secara ringkas namun tepat guna. Nilai dan pesan-pesan kebaikan bisa dimasukan dalam cerita dengan tetap menarik perhatian siswa,” tambah Muhajir yang juga penulis buku kumcer Menggambar Bulan dalam Gendongan, ini.
Sementara Kepala Disdikpora Kabupaten Jepara, Agus Tri Harjono, SH MM, menyambut baik pelatihan ini bagi kalangan guru.
“Pelatihan ini mampu meningkatan kerja karir guru dalam mengabdi di dalam dunia berpendidikan. Saya berharap setelah pelatihan ini, guru bisa menulis cerpen berkualitas,” kata Agus.
Selain itu Budayawan dan pendiri Jungpara, Sarjono, juga merencanakan hasil dari pelatihan ini akan dibukukan.
“Nanti kita bukukan lalu di-launching pada bulan Mei, saat Hari Pendidikan Nasional,” terang Sarjono.
Sementara itu, Ketua Program Studi Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, Eva Ardiana Indrariani, SS MHum, menyebut kerja sama ini akan terus berkelanjutan.
“Melihat antusias dan banyaknya peserta yang hadir, kerja sama ini akan diteruskan,” tegasnya. (hajir)