Semarang, UP Radio – Kasus penyebaran penyakit HIV Aids di Kota Semarang pada 2018 ini sangat tinggi. Dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang, dalam periode Januari-November 2018 terdapat 546 temuan kasus penderita HIV Aids.
Kepala Dinkes Kota Semarang, Widoyono menuturkan, dari jumlah kasus yang ditemukan, paling banyak ditemukan di wilayah Semarang Utara dengan 149 kasus. Kemudian disusul Semarang Barat 122 kasus, Tembalang 107 kasus, Pedurungan 104 kasus, dan Semarang Timur 86 kasus.
“Semarang Utara paling tinggi kasus HIV Aidsnya. Yang paling rendah itu ada di Kecamatan Tugu dan Mijen masing-masing 22 kasus. Mungkin itu juga karena penduduknya di sana paling sedikit,” kata Widoyono.
Widoyono mengungkapkan, temuan kasus tersebut diperoleh dari layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di setiap Puskesmas dan rumah sakit di Kota Semarang. Menurutnya, dengan ditemukannya kasus tersebut maka dapat dilakukan penanganan agar tidak menyebar semakin luas.
Pasalnya, lanjutnya, penyebaran penyakit HIV Aids ibarat fenomena gunung es yang terlihat sedikit di permukaannya. Hal itu disebabkan tidak semua penderita mau menunjukan diri atau mengaku jika telah terjangkit penyakit berbahaya tersebut.
“Meski Kota Semarang menduduki peringkat teratas temuan kasus HIV, ini merupakan sebuah prestasi karena kita menemukan. Belum tentu di wilayah lain yang jumlahnya sedikit yang terjangkit sedikit. Mungkin saja belum ditemukan,” paparnya.
Kendati demikian, Widoyono akan lebih menggalakkan pelayanan VCT di semua Puskesmas dan rumah sakit agar semakin banyak penderita yang ditemukan. “Dengan begitu kita dapat menekan peredarannya,” jelasnya.
Lebih lanjut Widoyono mengatakan, dari total kasus yang ditemukan, 25 persen penderita di antaranya merupakan warga dengan identitas Kota Semarang. Sisanya justru beridentitas luar Kota Semarang.
Kemudian, tren meningkat justru terjadi di kalangan Lelaki Suka Lelaki (LSL) atau homo seksual. Tren tersebut terjadi sejak 6 tahun terakhir.
“Untuk homo seksual atau LSL, di 2013 ditemukan 43 kasus, 2014 sebanyak 73 kasus, 2015 sebanyak 63 kasus, 2016 sebanyak 112 kasus, 2017 sebanyak 147 kasus, 2018 sebanyak 110 kasus,” ungkapnya.
Dikatakannya, resiko terjangkit HIV melalui perilaku homo seksual sangat tinggi. Meski begitu, Pemkot Semarang melalui Dinas Kesehatan terus melakukan pendampingan kepada Orang Dengan HIV/AIDS (Odha).
Jumlah temuan kasus penyebaran HIV dari perilaku homo seksual justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyebaran oleh Wanita Pekerja Seks (WPS) di Kota Semarang. Di mana data Dinkes Kota Semarang menyebutkan jika temuan kasus dari WPS sejak 6 tahun terakhir justru cenderung turun.
“Di 2013 sebanyak 40 kasus, 2014 sebanyak 41 kasus, di 2015 sebanyak 47 kasus, 2016 sebanyak 30 kasus, 2017 sebanyak 43 kasus, dan 2018 sebanyak 35 kasus,” tambahnya.
Secara kumulatif dilihat dari jenis kelamin, penderita didominasi kaum lelaki yang mencapai 58 persen atau 338 orang. Sedangkan perempuan 42 persen atau sebanyak 2018 orang.
Lebih lanjut Widoyono mengatakan, ada fenomena baru di Kota Semarang yang menjadi pemicu penyebaran penyakit HIV Aids. Yaitu profesi Pria Pekerja Seks (PPS). Dalam pelaksanaannya, PPS juga melayani sesama jenis selain melayani berlainan jenis.
Hingga saat ini, Dinkes Kota Semarang baru dapat melakukan penekanan terhadap angka kematian akibat HIV/AIDS. Penekanan tersebut dilakukan dengan pemberian motivasi kepada ODHA, maupun dengan pengobatan gratis. “Kita berikan obat gratis kepada yang terjangkit. Selain itu perawatan juga gratis,” ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi menuturkan, penderita HIV Aids di Kota Semarang perlu penanganan serius. Diperlukan keberanian dari para penderia untuk melakukan pemeriksaaan dan melaporkan jika dirinya terkena penyakit berbahaya tersebut. Dengan begitu, maka Pemkot Semarang dapat melakukan upaya untuk menutup ruang gerak peredarannya.
“Yang tidak kalah penting adalah pencegahan peredaran penyakit itu. Makanya saya meminta kepada setiap orang tua di Kota Semarang untuk memperkuat akhlak anak-anaknya. Harus diberi pemahaman agama yang kuat. Mereka harus tahu mana yang boleh dan tidak boleh dikerjakan,” kata Hendi, sapaannya, beberapa waktu lalu.
Hendi memaparkan, penanganan penyakit HIV Aids tidak hanya pada orang penderita saja tapi juga perlu proteksi pada lingkungan sekitar. Penanganan yang harus dilakukan tentunya menyeluruh. Sehingga dengan diketahuinya keberadaan penderita karena berani melapor maka tindakan yang akan diambil juga semakin terarah.
“Orang yang menderita HIV Aids harus tercatat sehingga bisa tahu penanganan seperti apa dan diobati apa. Kemudian dia dikasih aktivitas apa dan jangan sampai dikucilkan. Itu penting. Kemudian, penderita jangan sampai bebas melakukan aktivitas seksual. Itu bahaya juga,” jelasnya.
Di samping itu, upaya pencegahan peredaran penyakit HIV Aids pada generasi muda juga harus dilakukan sejak sekarang. Hendi mengatakan, generasi muda merupakan generasi penerus sekaligus generasi pemimpin bangsa. Sehingga mereka perlu dilindungi dengan diberi pemahaman terkait bahaya, peredaran dan pencegahan penyakit itu.
“Mereka harus tahu perilaku seks menyimpang itu potensinya besar terkena HIV Aids, jarum suntik narkoba, dan lainnya. Dengan tahu hal itu, diharapkan generasi muda tidak melakukan hal-hal yang mencelakai dirinya,” harapnya. (ksm)